Hasil penelitian di berbagai negara, seperti Thailand, Filipina, dan Amerika Serikat (AS), menunjukkan bahwa sunat atau khitan, yakni tindakan memotong kulup yang diwajibkan dalam ajaran Islam bagi pria Muslim, efektif sebagai salah satu cara mencegah penularan wabah HIV/AIDS. Hasil penelitian ini direkomendasikan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Kongres Internasional ke-9 tentang AIDS se-Asia Pasifik (ICAAP) yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, 9-13 Agustus.
Menurut Ketua Kongres Ke-9 ICAAP, Prof. Dr Zubairi Djoerban, yang terpenting ke depan adalah implementasi sunat sebagai salah satu cara pencegahan HIV/AIDS di kawasan Asia-Pasifik, karena masalah itu hingga kini masih terbentur pada masalah perbedaan agama. Acara ini diikuti oleh 3.000 delegasi dari 65 negara.
Zubairi menambahkan, dalam persoalan HIV/AIDS yang juga penting untuk diaplikasikan ke depan adalah mewujudkan universal akses bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA), salah satunya adalah akses kesehatan.
Sebelum ini, tiga kajian yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan bukti kuat bahwa khitan terhadap lelaki mampu menghalang terjangkitnya HIV. Penyataan ini disampaikan, Dvora Joseph, Kepala Departemen HIV di Population Services International, sebuah organisasi nirlaba yang berbasis di AS.
“Ini adalah seruan untuk bertindak, untuk melakukan khitan para pria. Walaupun sudah dua tahun dan kekurangan dana, fokus untuk meningkatkan usaha dan banyak lagi yang perlu dilakukan guna mencapai ke arah itu,“ demikian ujar Dvora.
Menurut Dvora, walaupun terdapat penduduk yang mulai menerima anjuran ini, stigma khitan ternyata masih cukup kuat.
Menurut reuters, stigma dikarenakan tidak adanya promosi secara nasional tentang khitan pria. Menurutnya, untuk mencapai itu diperlukan lebih banyak pendidikan guna mengenalkannya.
Sebelum ini, beberapa penelitian juga menunjukkan hasil yang sama. Tahun 2007, Khitan dinyatakan dapat mengurangi risiko terjangkitnya AIDS sebesar 60 persen. Kesimpulan terbaru hasil pertemuan sekitar 380 ahli medis dari berbagai negara.
Penelitian serupa juga pernah dilakukan oleh National Institute of Allergy and Infectious Diseases (NIAID), salah satu lembaga yang berada di bawah National Institute of Health (NIH) Amerika. Riset di Kisumi, Kenya, melibatkan sebanyak 2.784 pria. Sementara di Rakai, Uganda, responden berjumlah 4.996 pria, berusia antara 18-24 tahun.
Tanggapan Gereja terhadap rekomendasi Khitan bagi warga Papua
Pemerintah telah merekomendasikan khitan (sunat) bagi warga di Papua selama dua tahun terakhir sebagai pendekatan baru untuk mengatasi peningkatan pesat dalam kasus HIV/AIDS.
Di bagian lain Indonesia, khitan adalah umum dan bagian dari budaya yang telah dilestarikan dalam masyarakat secara turun-temurun. Namun, di Papua orang tidak selalu mempraktekkan khitan itu.
Bagi orang Papua, khitan sering dianggap bertentangan dengan baptisan, karena cenderung berhubungan dengan Muslim.
“Tradisi Gereja di Papua tidak mengakui khitan karena telah digantikan dengan baptisan, meskipun fakta bahwa Alkitab tidak menyatakan bahwa khitan diganti dengan baptisan. Tetapi baptisan adalah pemenuhan khitan. Yesus sendiri, sebagai seorang Yahudi, juga dikhitan,” kata dosen theologia dari STT Isak Samuel Kijne Pdt. Sostenes Sumihe baru-baru ini, seperti dilansir The Jakarta Post, Kamis, 10 November 2011.
“Setelah kampanye khitan, banyak orang Papua mulai menyunat anak mereka dan banyak menanyakan kami apakah khitan bertentangan dengan agama kita. Saya mengatakan kepada mereka bahwa itu tidak bertentangan dengan agama dan tidak dosa.”
Ketua Komisi Pemberantasan AIDS di Papua (KPA) Constan Karma mengatakan bahwa berdasarkan rekomendasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), khitan dapat mengendalikan 60 persen dari infeksi HIV/AIDS.
“Berdasarkan rekomendasi WHO, khitan dapat menekan infeksi HIV/AIDS hingga 60 persen, maka kita diwajibkan untuk menyebarkan informasi yang baik,” katanya.
Konstan menyebutkan bahwa 100 persen masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Papua adalah penganut Protestan, dilakukan khitan dan sangat sedikit yang telah terinfeksi oleh penyakit itu.
“Saat ini, jumlah orang yang hidup dengan HIV/AIDS di Papua telah mencapai 10.500 kasus, dan 80 persen dari mereka adalah orang asli Papua dan 20 persen non-Papua. Dari 20 persen, hanya 14 kasus melibatkan orang-orang dari komunitas etnis Toraja,” tambahnya.
Menurut Constan, kampanye khitan, yang telah dilakukan selama tiga tahun terakhir, telah berhasil secara signifikan. Tahun lalu, dari 350 anak dikhitan, 76 adalah anak-anak asli Papua. Program ini disponsori oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional.
“Ini menunjukkan bahwa warga masyarakat mulai memahami pentingnya khitan untuk alasan medis dan kesehatan.”
Menurut Sumihe, Gereja-gereja Papua dikelompokkan di bawah Persekutuan Gereja Papua akan mengeluarkan seruan pastoral dalam upaya untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS. “HIV/AIDS adalah masalah serius di Papua, sehingga Gereja dipanggil untuk mencegah pengikutnya dari penyebaran penyakit itu.”
Tanggapan Rektor Universitas Medan Area
sementara itu sebagaimana yang dilansir oleh media online waspada.co.id,Prof. Dr. H. A. Yakup Matondang, MA menegaskan, rekomendasi badan kesehatan dunia (WHO) bahwa sunat atau khitan dapat mencegah AIDS merupakan salah satu bukti bahwa Islam itu adalah agama untuk kemaslahatan umat manusia bukan hanya bagi umat Islam.“Setelah WHO merekomendasi bahwa sunat atau khitan yakni tindakan memotong kulup, efektif sebagai salah satu cara mencegah penularan HIV/AIDS,” katanya. tadi malam.
Menurut Yakup, khitan atau sunat itu adalah merupakan fitrah (kesucian) manusia yang harus dilakukan bukan hanya bagi umat Islam tapi juga semua umat manusia. Meskipun saat ini dikatakan tindakan memotong kulup itu dapat mencegah AIDS.
Jika merujuk dari sejarah bahwa sunat bukan hanya dilakukan pada masa Muhammad diangkat Allah SWT menjadi Rasul, akan tetapi jauh sebelum itu sudah dalukan para umat terdahulu. Karenanya tidak tertutup kemungkinan beberapa suku bangsa terdahulu juga sudah melakukan sunat tersebut.
Walaun pada masa rasul tidak diketahui atau tak ditemukan adanya jenis HIV/AIDS, namun banyak suku bangsa sudah melakukan khitan, karena mereka sudah paham tentang fitrah.
Sisi lain, lanjut Rektor UMA (Universitas Medan Area) ini, sebagian pandangan menilai ketika itu bahwa melaksanakan khitan adalah sekadar untuk mengikuti ajaran. Padahal, tindakan memotong kulup itu bukan hanya sekedar itu sebab jika diteliti lebih jauh juga sangat bermanfaat untuk kesehatan.
Justru, dengan rekomendasi WHO itu selain secara tidak langsung mengakui kebenaran apa yang diajaran Islam sebagai agama samawi (langit) juga sekaligus menangkis atau menjawab tuduhan-tuduhan tak baik terhadapk khitan yang dilakukan oleh umat Islam.
Jika dalam pelaksanaan khitan terjadi kesalahan, kata Yakup, seperti infeksi. Kesalahan itu jangan disasarkan kepada syariat, karena itu merupakan bentuk kelalain manusia yang setiap saat bisa saja terjadi.
Sedang Ketua Ikatan Da’I Indonesia (IKADI) Sumut Drs. H. Sakira Zandi menegaskan,rekomendasi WHO itu merupakan ketentuan Allah SWT yang secara perlahan ingin membuktikan kebenaraan syariat yang diturunkanNya.
Menurut Sakira, bukti kebenaran itu bukan hanya dikatakan dan ditunjukan Allah SWT sebagai khaliq (penguasa) dalam bentuk ayat-ayat yang terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah rasul, akan tetapi juga dalam bentuk alam.
Merujuk dari itu, tegas Sakira, tanpa direkomendasi WHO pun Islam sejak dini sudah menganjurkan umatnya untuk mencegah berbagai bentuk penyakit di antaranya dengankhitan. Begitu juga dengan perlakuan zinah, seks bebas dan sejenisnya.
Bahkan soal daging babi, sejak dini Allah sudah mengingatkan untuk tidak mengkonsumsinya, karena membahayakan bagi kesehatan dan itu telah terbukti dengan munculnya flu babi yang sudah menewaskan ratusan bahkan ribuan umat manusia. “Jadi, siapa saja yang ikut petunjuk Al Qur’an akan selamat bukan hanya dunia tapi juga akhirat,” tegas Sakira.
Karena itu, sangat disayangkan dan disesalkan jika ada umat yang mengaku memeluk Islam sebagai agamanya, tetapi tidak mengikuti dan mengamalkan petunjuk-petunjuk Al Quran dan sunnah. Umat Islam harus menjauhi perbuatan-perbuatan yang bisa membawa kerusakan bagi kesehatan seperti berzinah, pergaulan bebas, meminum minuman yang memabukan.
Kata kuncil dari semua itu, tegas Sakira, umat Islam harus bisa, mampun dan berani melaksanakan amar makruf nahi mungkar (berbuat baik dan mencegah kemungkaran), karena tindakan itu akan sangat bermanfaat bagi keselamatan dunia dan akhirat.
sumber :
0 komentar:
Posting Komentar