Hal-hal yang disunahkan dibulan romadhon

Hal-Hal yang Disunnahkan di Bulan Ramadlan
1.   Memperbanyak Membaca Al-Qur’an
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bulan Ramadlan merupakan bulan Al-Qur’an (QS. Al-Baqarah : 185). Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, para shahabat, dan para ulama setelahnya telah memberikan keteladanan bagi kita dalam hal ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa membaca ulang Al-Qur’an/bertadarus di hadapan Jibril setiap malam bulan Ramadlan, sebagaimana yang dikhabarkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :

وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن
“Jibril biasa menemui beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam setiap malam di bulan Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an”  (HR. Bukhari no. 6).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
خيركم من تعلم القرآن وعلمه
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang belajar dan mengajarkan Al-Qur’an” (HR. Bukhari no. 4739, Abu Dawud no. 1452, Tirmidzi no. 2909, dan Ibnu Majah no. 211).
الماهر بالقرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para malaikat yang mulia dan baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata (tidak lancar – tapi tetap berkemauan keras), maka baginya dua pahala” (HR. Bukhari no. dan Muslim no. 798).
مثل المؤمن الذي يقرأ القرآن كمثل الأترجة ريحها طيب وطعمها طيب ومثل المؤمن الذي لا يقرأ القرآن كمثل التمرة لا ريح لها وطعمها حلو ومثل المنافق الذي يقرأ القرآن مثل الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ليس لها ريح وطعمها مر
“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an bagaikan buah Utrujah, baunya wangi dan lezat rasanya. Sedangkan seorang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti tamr (kurma), tidak berbau tetapi manis rasanya. Permisalan seorang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti raihan, baunya wangi akan tetapi rasanya pahit. Sedangkan permisalan seorang munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti buah handhalah, tidak wangi lagi pahit rasanya” (HR. Bukhari no. 5111 dan Muslim no. 797).
Selain membaca Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mentadaburi dan mengamalkannya.
2.   Memperbanyak Shadaqah
Bershadaqah adalah satu kesempatan bagi kita untuk mencari keridlaan Allah serta maghfirah-Nya di bulan Ramadlan. Shadaqah yang kita berikan haruslah berasal dari harta yang halal untuk diberikan kepada faqir miskin, sanak kerabat, tetangga, anak-anak yatim piatu, dan kaum muslimin pada umumnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
إن الله طيب لا يقبل إلا طيبا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Bagus, Allah tidak akan menerima kecuali yang baik (halal)” (HR. Muslim no. 1015).
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه جبريل وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن فلرسول الله صلى الله عليه وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih dermawan lagi ketika bulan Ramadlan pada saat Jibril menemui beliau. Jibril biasa menemui beliau di setiap malam di bulan Ramadlan untuk bertadarus Al-Qur’an. Maka pada saat itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang berhembus” (HR. Bukhari no. 6).
3.   Memberi Makanan Berbuka kepada Orang yang Sedang Berpuasa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من فطر صائما كان له مثل أجرهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا
“Barangsiapa yang memberikan makanan berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi dari pahala orang berpuasa itu sedikitpun” (HR. Ahmad no. 17074, Tirmidzi no. 807, dan Ibnu Majah no. 1746. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
4.   Memperbanyak Do’a 
Ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa doa orang yang berpuasa sangat mustajab.  Mari kita ambil kesempatan itu untuk banyak berdoa dengan hati yang ikhlash, mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, dan berkeyakinan bahwa doa kita akan dikabulkan oleh Allah ta’ala.  Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
ثلاث دعوات مستجابات : دعوة الصائم ودعوة المظلوم ودعوة المسافر
“Ada tiga doa yang dikabulkan : Doa orang yang berpuasa, doa orang yang dianiaya, dan doa orang yang bepergian (musafir)” (HR. ‘Uqaili dalam Adl-Dlu’afaa 1/72 dan Abu Muslim Al-Kajji dalam Juzz-nya; dengan sanad shahih).
5.   I’tikaf
Yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ber-i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadlan. ‘Aisyah Ummul-Mukminin radliyallaahu ‘anhaa menjelaskan :
كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل العشر شد مئزره وأحيا ليله وأيقظ أهله
Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila masuk malam-malam sepuluh hari yang terakhir (dari bulan Ramadlan), beliau mengencangkan ikat pinggangnya (yaitu menjauhi istri-istrinya – untuk menyibukkan diri beribadah kepada Allah ta’ala – Pent.), menghidupkan malam, dan membangunkan keluarganya”  (HR. Bukhari no. 1920 dan Muslim no. 1174).
6.   Melakukan ‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan ber-‘umrah pada bulan Ramadlan adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada seorang wanita Anshar yang tidak sempat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
فإذا جاء رمضان فاعتمري فإن عمرة فيه تعدل حجة
“Apabila datang bulan Ramadlan, maka ber-umrah-lah kamu, sesungguhnya ‘umrah di bulan Ramadlan itu nilainya sama dengan ibadah haji”  (HR. Muslim no. 1256).
Melatih Anak-Anak untuk Berpuasa
Melatih anak-anak sedini mungkin untuk berpuasa (sesuai dengan kadar kesanggupannya) sangatlah penting untuk menanamkan rasa cinta terhadap syari’at Islam. Selain itu, fisik mereka akan terlatih di kemudian hari tahapan-demi tahapan sehingga pada satu waktu, si anak dapat mengerjakan ibadah puasa secara sempurna (mulai fajar shadiq sampai matahari terbenam). Ada teladan yang cukup baik dari para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini :
عن الربيع بنت معوذ قالت أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار من أصبح مفطرا فليتم بقية يومه ومن أصبح صائما فليصم قالت فكنا نصومه بعد ونصوم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengirim utusan di suatu pagi hari ‘Asyuura (10 Muharram) di pedesaan kaum Anshar. Ia berkata : Barangsiapa di waktu pagi tidak berpuasa, maka hendaklah ia berpuasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa di waktu pagi berpuasa, maka teruskanlah puasanya itu”. Maka Rubayyi’ berkata : “Kami pun berpuasa dan menyuruh anak-anak kami berpuasa. Kami memberikan boneka-boneka dari wol apabila mereka menangis karena lapar dan haus. Hal itu terus berlangsung hingga waktu berbuka tiba” (HR. Bukhari no. 1859).

Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Berpuasa
1.   Musafir
Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh jarak (yang dianggap) safar.  Jarak safar menurut madzhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar (Majmu’ Fataawaa, 34/40-50, 19/243).  Orang yang melakukan safar boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain” (QS. Al-Baqarah : 184).
Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Apakah saya berpuasa di waktu safar?”.  Beliau menjawab :
إن شئت فصم وإن شئت فأفطر
“Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau” (HR. Bukhari no. 1841 dan Muslim no. 1121).
Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar.  Dan bagi yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu dan diperkirakan tidak membawa mudlarat terhadap dirinya.  Pertimbangan inilah yang terdapat dalam hadits berikut :
ليس من البر الصوم في السفر
“Berpuasa di dalam perjalanan bukanlah sebuah kebaikan” (HR. Bukhari no. 1844 dan Muslim no. 1115)
فكانوا يرون أنه من وجد قوة فصام فحسن ومن وجد ضعفا فافطر فحسن
“Dan mereka (para shahabat) berpendapat bahwa barangsiapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya.  Dan barangsiapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya”(HR. Tirmidzi no. 713 dan Al-Baghawi no. 1763. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan shahih).
Namun secara umum, safar membolehkan berbuka walau orang yang melakukannya tidak merasakan berat, karena hal tersebut merupakan rukhshah (keringanan) yang diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله يحب أن تؤتى رخصه كما يكره أن تؤتى معصيته
“Sungguh Allah menyukai dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan maksiat kepada-Nya” (HR. Ahmad no. 5866 dan Ibnu Hibban no. 2742. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/9 no. 564).  Dan keringanan bagi seorang musafir (salah satunya) adalah berbuka (tidak berpuasa).
2.   Orang yang Sakit
Sakit yang menjadikan dibolehkannya seseorang berbuka adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya kesembuhan. (Lihat Fathul-Baari 8/179, Syarhul-Umdah Kitab Shiyaam karya Ibnu Taimiyyah 1/208-209, Shifat Shaumin- Nabi hal. 59).  Lihat dalilnya dalam firman Allah ta’ala dalam QS. Al-Baqarah ayat 185.
3.   Wanita yang Haidl atau Nifas
Para ulama’ sepakat bahwa wanita yang sedang haidl atau nifas tidak boleh berpuasa, dan keduanya harus berbuka dan mengqadla’ (mengganti)nya di hari yang lain.  Dan bila keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah.  Lihat pada penjelasan sebelumnya.
4.   Orang yang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah
Allah ta’ala berfirman :
فَمَن كَانَ مِنكُم مّرِيضاً أَوْ عَلَىَ سَفَرٍ فَعِدّةٌ مّنْ أَيّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.  Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin”(QS. Al-Baqarah : 184).
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengatakan,”Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa.  Maka ia berbuka dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 dan dishahihkan olehnya).
Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan.  Adapun tentang fidyah, insyaAllah akan dijelaskan kemudian.
5.   Wanita yang Mengandung dan Menyusui
Di antara keagungan rahmat Allah ta’ala kepada hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa kepada wanita hamil dan menyusui.  Dari Anas bin Malik : Seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b radliyallaahu ‘anhu berkata :
أغارت علينا خيل رسول الله صلى الله عليه وسلم فأتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فوجدته يتغدى فقال ادن فكل فقلت إني صائم فقال ادن أحدثك عن الصوم أو الصيام إن الله تعالى وضع عن المسافر الصوم وشطر الصلاة وعن الحامل أو المرضع الصوم أو الصيام والله لقد قالهما النبي صلى الله عليه وسلم كلتيهما أو إحداهما فيا لهف نفسي أن لا أكون طعمت من طعام النبي صلى الله عليه وسلم
Datang kuda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada kami.  Lalu aku mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan.  Kemudian beliau bersabda,”Mendekatlah dan makanlah”.  Aku menjawab,”Aku sedang puasa”.  Beliau bersabda,”Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa.  Sesungguhnya Allah ta’ala memberikan keringanan dari setengah shalat bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita hamil dan menyusui”.  Demi Allah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam benar-benar telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk makan makanan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam” (HR. Tirmidzi no. 715, An-Nasa’i 4/180, Abu Dawud no. 2408, dan Ibnu Majah no. 1667. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibnu Majah 2/64-65 no. 1361 dan Misykatul-Mashaabih 1/344).
Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadla.  Hal ini diperkuat oleh atsar para shahabat, diantaranya adalah perkataan Ibnu ‘Abbas kepada seorang budak wanita yang hamil atau menyusui :
أنت بمنزلة الذي لا يطيق ، عليك أن تطعمي مكان كل يوم مسكينا ولا قضاء عليك
“Engkau, kedudukanmu seperti yang tidak mampu.  Kewajibanmu memberi makan satu orang miskin untuk setiap harinya dan tidak ada kewajiban qadla atasmu” (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dengan sanad yang dikatakan Syaikh Al-Albani shahih sesuai dengan syarat Muslim – Irwaaul-Ghalil 4/19.  Juga diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf 4/219 no. 7567 – tapi tanpa kata-kata : tidak ada kewajiban qadla atasmu).
Juga perkataan Sa’id bin Jubair bahwa Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum mengatakan kepada budaknya yang hamil atau menyusui :
أنت من الذين لا يطيقون الصيام عليك الجزاء وليس عليك القضاء
“Engkau termasuk tidak mampu, kewajibanmu memberi makan, bukan qadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/206 no. 8 dan ia berkata : sanadnya shahih).
Juga perkataan Ibnu ‘Umar atas pertanyaan seorang wanita hamil :
أفطري وأطعمي عن كل يوم مسكينا ولا تقضي
“Berbukalah dan berilah makan satu orang miskin sebagai ganti setiap harinya dan jangan kamu mengqadla” (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 14 dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 6/263.  Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanadnya bagus – Irwaaul-Ghalil 4/20).
Berbuka Puasa
1.   Waktu Berbuka
Allah telah menjelaskan kepada kita tentang waktu diperbolehkannya berbuka puasa yaitu dengan tenggelamnya matahari, sebagaimana firman-Nya :
ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ إِلَى الّليْلِ
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu hingga (datang) malam” (QS. Al-Baqarah : 187).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menafsirkan ayat tersebut dengan datangnya malam, berlalunya siang, dan tenggelamnya matahari.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda sambil mengisyaratkan tangannya:
إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبر النهار من ها هنا وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah tiba dari arah sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun terbenam, maka orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Bukhari no. 1853 dan Muslim no. 1100).
Dan sabdanya yang lain :
إذا رأيتم الليل أقبل من ها هنا فقد أفطر الصائم
“Apabila engkau melihat malam telah tiba dari arah sini, maka sungguh orang yang berpuasa telah berbuka” (HR. Bukhari no. 1839).
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Makna (sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam di atas) adalah puasanya telah selesai sempurna, dan (pada waktu matahari sudah tenggelam dengan sempurna) dia bukan orang yang berpuasa.  Maka dengan terbenamnya matahari, habislah waktu siang dan malam pun tiba; dan malam hari bukanlah waktu untuk berpuasa” (Syarah Shahih Muslim 7/210).
Timbul pertanyaan : Bagaimana jika matahari telah tenggelam, namun adzan belum berkumandang (muadzin telat mengumandangkan adzan) ???
Maka dijawab : Yang menjadi patokan untuk berbuka puasa adalah tenggelamnya matahari.  Hal ini sesuai dengan dalil di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta amalan para shahabat sebagaimana telah disebutkan.  Maka selayaknya bagi kaum muslimin menyegerakan berbuka puasa setelah melihat matahari benar-benar telah tenggelam. Dan bagi muadzin, hendaknya selalu menjaga amanah untuk mengumandangkan adzan pada awal waktunya.
2.   Menyegerakan Berbuka Puasa
a.   Menyegerakan berbuka dapat mendatangkan kebaikan
Dari Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا يزال الناس بخير ما عجلوا الفطر
“Manusia senantiasa berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka” (HR. Bukhari no. 1856 dan Muslim no. 1098).
b.   Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
Dari Sahl bin Sa’ad ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا تزال أمتى على سنتى ما لم تنتظر بفطرها النجوم
“Umatku senantiasa berada di atas sunnahku, selagi mereka tidak menunggu munculnya bintang ketika berbuka puasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no. 2061 dan Ibnu Hibban no. 3510 dengan sanad shahih. Lihat Ta’liq ‘alaa Shahih Ibni Khuzaimah).
c.   Menyegerakan berbuka puasa agar tidak termasuk golongan orang-orang yang sesat
Apabila manusia menjalani manhaj dan memelihara sunnah Rasul mereka, maka Islam akan tetap jaya dan berdiri kokoh serta tidak akan disusahkan oleh umat-umat yang menentang mereka.  Ummat Islam tidak mau mengekor kaum kafir dari golongan Yahudi dan Nasharani, yang mereka ini dicap oleh Allah dan Rasulnya sebagai kaum yang sesat.  Dengan menyegerakan berbuka, berarti kita telah turut mengokohkan agama Islam dan menyelisihi sebagian dari adat dan kebiasaan mereka yang tercela, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا يزال الدين ظاهرا ما عجل الناس الفطر لأن اليهود والنصارى يؤخرون
“Agama senantiasa kokoh selama manusia menyegerakan berbuka; karena Yahudi dan Nashrani mengakhirkannya (menundanya)” (HR. Abu Dawud no. 2353; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Misykatul-Mashaabih 1/339).
d.   Berbuka sebelum shalat maghrib
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka puasa sebelum melaksanakan shalat maghrib sebagaimana dikhabarkan dalam hadits berikut:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفطر على رطبات قبل أن يصلي فإن لم تكن رطبات فعلى تمرات فإن لم تكن حسا حسوات من ماء
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berbuka dengan ruthab sebelum melaksanakan shalat (Maghrib), maka jika tidak ada ruthab (beliau berbuka) dengan tamr. Jika tidak ada (tamr) maka beliau berbuka dengan meneguk air” (HR. Abu Dawud no. 2356 dan lainnya dengan sanad hasan; lihat Shahih Sunan Abi Dawud 2/59 no. 2356 dan Irwaaul-Ghalil 4/45 no. 922).
Maka tidak ragu lagi, bahwa menyegerakan berbuka mempunyai keutamaan yang sangat besar.  Dari Abu Darda’  radliyallahu ‘anhu : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
ثلاث من أخلاق النبوة : تعجيل الإفطار و تأخير السحور و وضع اليمين على الشمال في الصلاة
“Tiga (perkara) termasuk akhlaq kenabian (yaitu) : menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur, dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dalam shalat” (HR. Thabrani, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahihu Jami’ish-Shaghiir 1/583 no. 3038).
3.   Apa yang Dimakan Saat Berbuka ?
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menganjurkan untuk mengawali berbuka puasa dengan ruthab.  Ruthab adalah kurma yang masih setengah matang, agak sedikit lebih keras (dibandingkan tamr), dan berwarna hijau kecoklatan.  Apabila tidak ada ruthab, maka dianjurkan memakan tamr (= kurma yang biasa dijual di pasaran).  Bila tidak ada, maka beliau menganjurkan berbuka dengan air.  Hal ini merupakan bentuk kasih sayang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam kepada ummatnya (lihat QS. At-Taubah : 128).  Untuk haditsnya, lihat kembali pembahasan di atas.
Makan makanan manis di saat perut kosong itu lebih bermanfaat bagi tubuh, terutama tubuh yang sehat, sehingga kekuatannya dapat pulih kembali.  Adapun berbuka dengan meminum air, dapat membasahi tubuh seperti halnya fungsi makanan, karena tubuh mengalami kekeringan cairan saat berpuasa sehingga apabila dibasahi dengan air akan sangat bermanfaat.
Dan ketahuilah wahai saudaraku muslimin, bahwa kurma memiliki berkah dan keistimewaan.  Begitu juga dengan air sebagai zat vital dalam metabolisme tubuh.  Wallaahu a’lam.
4.   Apa yang Dibaca Ketika Berbuka ?
Adapun doa khusus yang terkait dengan berbuka puasa, menurut penelitian para ahli hadits, hanya satu yang shahih dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yaitu hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila berbuka beliau mengatakan :
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَتِ اْلعُرُوقُ وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ
[Dzahabazh-zhoma-u wab-talatil-‘uruuqu wa tsabatal-ajru insya Allooh]
“Rasa haus telah pergi dan urat-urat telah terbasahi serta telah ditetapkan pahala insya Allah” (HR. Abu Dawud no. 2357, Baihaqi dalam Ash-Shughra no. 1424, Al-Hakim no. 1536, Ibnu Sunni no. 128, Nasa’i dalam Amalul-Yaum di Bab Maa Yaquulu ‘inda Afthara, dan Ad-Daruquthni Bab Al-Qiblatu lish-Shaaim no. 25; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 4/39 no. 920).
Doa ini dibaca setelah selesai menyantap makanan berbuka (- perhatikan arti doa tersebut -).  Adapun doa yang sering dibaca oleh sebagian kaum muslimin seperti : Allaahumma laka shumtu….dst. dan yang lain-lain; maka doa tersebut berasal dari hadits-hadits berstatus dl’aif.  Maka selayaknya kita hanya memilih doa yang tsabit (tetap) berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
5.   Makan Secara Berjama’ah
Disunnahkan berbuka secara berjama’ah dengan keluarga, rekan, atau kaum muslimin lainnya. Allah menurunkan keberkahan dengan banyaknya tangan di atas makanan.
عن وحشي بن حرب عن أبيه عن جده رضي الله عنه أن أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم قالوا يا رسول الله إنا نأكل ولا نشبع قال فلعلكم تفترقون قالوا نعم قال فاجتمعوا على طعامكم واذكروا اسم الله يبارك لكم فيه
Dari Wakhsyi bin Harb, dari ayahnya, dari kakeknya radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Sesungguhnya para shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallm : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami makan tapi tidak merasa kenyang”. Beliau menjawab : “Barangkali kalian makan secara berpencar (sendiri-sendiri)”. Mereka menjawab : “Benar”. Maka beliau bersabda : “Berkumpullah kalian atas makanan kalian dan sebutlah nama Allah, niscaya makanan itu diberkahi untuk kalian” (HR. Abu Dawud no. 3764; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 664. Lihat pula Riyadlush-Shaalihiin no. 747).
6.   Memberi Makanan Orang yang Berbuka Puasa
Allah ta’ala telah menjanjikan pahala yang besar bagi orang yang telah menyisihkan sebagian rizkinya secara ikhlash untuk memberi makan kepada orang yang berbuka puasa.  Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
من فطر صائما كتب له مثل أجر الصائم لا ينقص من أجر الصائم شيء
“Barangsiapa yang memberi makanan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti yang diperoleh orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun juga” (HR. Ahmad no. 17074 dan 17085; At-Tirmidzi 807; Ibnu Majah no. 1746; dan Ibnu Hibban no. 3429; dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
Dan apabila ada seorang muslim yang berpuasa dan ia mendapat undangan dari saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut.  Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
إذا دعا أحدكم أخاه فليجب عرسا كان أو نحوه
“Bila salah seorang dari kalian mengundang saudaranya, maka hendaklah ia memenuhi undangan tersebut, apakah (undangan tersebut adalah) undangan nikah atau semisalnyai” (HR. Muslim no. 1429 dan selainnya).
Dan hal ini tentunya dikecualikan apabila dalam undangan tersebut mengandung unsur kemaksiatan atau terdapat unsur kemaksiatan (seperti nyanyi-nyanyian/musik, ikhtilath, dan lain-lain).
Bagi yang diundang dan/atau yang diberikan makanan berbuka dari saudaranya, maka hendaklah ia mendoakan saudaranya tersebut dengan kebaikan.  Beberapa doa yang diajarkan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam diantaranya:
اللّهُـمَّ أَطْعِمْ مَنْ أَطْعَمَنِي وَأَسْقِ مَنْ أَسْقَانِي
[Alloohumma ath’im man ath’amanii wa asqi man saaqoonii]
“Ya Allah, berikanlah makanan kepada orang yang memberiku makan, dan berikanlah minuman kepada orang yang memberiku minuman” (HR. Muslim no. 2055 dari Al-Miqdad).
اللّهُـمَّ بارِكْ لَهُمْ فِيمَا رَزَقْـتَهُمْ، وَاغْفِـرْ لَهُـمْ وَارْحَمْهُمْ
[Alloohumma baariklahum fiiimaa rozaqtahum wagh-firlahum war-hamhum]
“Ya Allah, berikanlah barakah apa yang Engkau rizkikan kepada mereka, ampunilah dan belas-kasihanilah mereka” (HR. Muslim 2042 dari Abdullah bin Busr).
Hukum Seputar Fidyah
Fidyah merupakan shadaqah yang dibayarkan oleh seorang yang sudah tidak mampu lagi berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui (menurut pendapat yang paling kuat dari para ulama’), yang dibayarkan kepada orang miskin (lihat QS. Al-Baqarah : 184).  Lihat pembahasan sebelumnya tentang Orang-Orang yang Tidak Diwajibkan Puasa.
Lalu berapa takaran jumlah fidyah yang harus dibayarkan ???  Para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini.  Beberapa hal yang terkait dengan pertanyaan tersebut dapat dijelaskan pada beberapa poin berikut :
1.   Sebagian ulama mengatakan jumlah takaran fidyah yang dibayarkan adalah sesuai dengan makanannya ketika ia tidak berpuasa (lihat Tafsir Ath-Thabari 2/143).
Dan yang difatwakan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya), takaran jumlah fidyah tersebut adalah setengah sha’ atau kurang lebih 1,5 kg (satu setengah kilogram) per jiwa (diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni 2/207 no. 12 dengan sanad shahih).  Dan pendapat inilah yang dipilih oleh Asy-Syaikh Abdulaziz bin Baaz dan Lajnah Fatwa Saudi Arabia (Fataawaa Ramadlan 2/554-555 dan 604).  Sehingga apabila seseorang tidak sanggup berpuasa selama 30 hari, maka yang dibayarkan adalah 1,5 kg x 30 = 45 kg.
2.   Diperbolehkan memberi makanan yang siap santap (makanan matang) dengan ukuran yang dapat mengenyangkan si miskin (Fataawaa Ramadlan 2/652).  Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu ketika beliau lemah untuk berpuasa karena tua (selama satu bulan : 30 hari); beliau membuat satu mangkok besar tsarid (bubur dari roti yang diremas dan dicampur kuah), lalu beliau mengundang 30 orang miskin sehingga mengenyangkan mereka. (Diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni dalam Sunan-nya 2/207 no. 6 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ul-Ghaliil 4/21).
3.   Tidak diperbolehkan membayar fidyah dengan uang, tetapi harus dengan makanan sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah (Hadits Shahih).
4.   Diperbolehkan membayar fidyah sekaligus atau terpisah-pisah waktunya (Lajnah Fatwa Saudi Arabia, Fataawaa Ramadlan 2/652).
5.   Bolehkan memberi fidyah kepada orang yang miskin yang kafir??? Maka pertanyaan ini dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah (seorang fuqahaa, ahli tafsir, dan ahli ushul) : “Jika di daerahnya ada orang Islam yang berhak, maka diberikan kepadanya.  Tapi jika tidak ada, maka disalurkan ke negeri-negeri Islam yang membutuhkannya” (Fataawaa Ramadlan 2/655).

0 komentar:

Posting Komentar